Kejagung Periksa Dua Mantan Dirjen Migas dalam Kasus Korupsi Minyak Mentah, Potensi Kerugian Negara Capai Rp193,7 triliun per tahun

Dua mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Minyak dan Gas (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diperiksa sebagai saksi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

Pemeriksaan keduanya sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsitata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero), Subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018-2023.

Kedua mantan pejabat tersebut adalah Tutuka Ariadji (TA), yang menjabat sebagai Dirjen Migas Kementerian ESDM pada periode 2020-2024, serta Ego Syahrial (ES) yang menduduki posisi yang sama pada periode 2019-2020.

“TA selaku Dirjen Migas pada Kementerian ESDM tahun 2020-2024. ES selaku Dirjen Migas pada Kementerian ESDM tahun 2019-2020,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar, Sabtu, 8 Februari 2025.

Selain dua mantan pejabat Kementerian ESDM, Kejagung juga memeriksa CJ, yang pernah menjabat sebagai Analyst Light Distillate Trading pada Integrated Supply Chain PT Pertamina (Persero) periode 2019-2020.

Penyidik turut meminta keterangan AYM, yang menjabat sebagai Koordinator Pengawasan BBM di Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas.

Harli menegaskan pemeriksaan keempat saksi ini bertujuan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam kasus dugaan korupsi yang menyeret Tersangka YF dan kawan-kawan.

Berdasarkan hasil penyelidikan, jaksa mencatat bahwa kasus ini berpotensi menyebabkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun per tahun, yang terdiri dari; kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri mencapai Rp35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui broker mencapai  Rp2,7 triliun.

Selanjutnya, kerugian impor BBM melalui broker mencapai Rp9 triliun, kerugian kompensasi mencapai Rp126 triliun dan kerugian subsidi mencapai Rp21 triliun. Jika angka ini diasumsikan tetap selama lima tahun, total kerugian negara bisa menembus Rp900 triliun.

Para tersangka diduga mengimpor BBM jenis RON 88 (Premium) atau RON 90 (Pertalite), lalu mengoplosnya dengan RON 92 (Pertamax) sebelum menjualnya di SPBU sebagai produk Pertamax. Selain itu, mereka juga disebut melakukan penggelembungan anggaran, termasuk menyediakan fee 13-15% kepada broker dan pejabat dari biaya logistik impor BBM.***

Share